Rabu, 05 Agustus 2009

lagi.. mengenai kematian, dan qadar

another reminder about death..also remind me of qadar..
Dari milis IA-GD, berawal dari berita kepergian mba Surip (saya baru tau namanya skr malah, haduh,, kemana diriku) tadinya mau di-cut sebagian untuk reminderku, juga mau cut beberapa bagian yang agak gimana gitu, tapinya ko malah merusak alur, jadi dicopypaste ala imel aslinya..

--------
Terus terang, saya baru mendapatkan kabar meninggalnya Mbah Surip jam
14.39, Kaget juga, istri kirim SMS; “Mbah Surip meninggal tadi pagi.”
Apa pentingnya, pikir saya. Tapi saya penasaran juga, lalu saya balas,
“Yang bener? Mati kenapa?” “Tadi pagi. Ki baru rame di TV. Kecapekan,
jantung,” balas istri saya. Kemudian sesampai di kantor jam 17.00 lewat,
baru saya update melalui internet. Ternyata benar, bahkan presiden pun
ikutan berbela sungkawa atas meninggalnya Mbah Surip. Lebih kaget lagi,
ternyata di milis ada yang minta tanggapan mengenai hal ini. Kayaknya
heboh banget gitu.

Kematian adalah proses alamiah. Sesuatu yang telah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. Kematian seperti gugurnya dedaunan dari batang pohon. Jika
datang masanya, jika datang waktunya, pasti terjadi. Tidak bisa ditunda
dan dimajukan sedikit pun. Kematian adalah keniscayaan. Oleh karena itu,
seorang guru kehidupan ketika ditanya mengenai rumus kehidupan, dengan
singkat ia menjawab, “Kakek mati, kemudian bapak mati, kemudian anak
mati.” Jawaban ini tentu membingungkan bagi orang yang bertanya, namun
sang bijak tetap pada pendapatnya. “Inilah rumus kehidupan yang
alamiah,” katanya lagi. “Mengapa demikian?” kata si penanya. “Tentu
saja, karena kalau anak yang mati lebih dulu, orang tuanya akan sangat
sedih dan kesedihan itu tidak akan hilang selama – lamanya. Sementara
kalau orang tua yang lebih dulu meninggal, walau si anak juga akan
merasa sedih, kesedihan itu akan menghilang seiring dengan berjalannya
waktu dan kesibukan.”

Kematian dimanapun berada selalu membawa cerita bagi yang hidup dan yang
ditinggalkannya. Tapi sebaik-baik cerita yang patut kita dengar adalah
petuah: Kafa bilmauti wa’idhon (rowahu at-Thabrani). Cukuplah mati
sebagai sebuah nasihat. Seorang filsuf China I Ching, dalam rangka
menyelami dan menemukan indahnya kehidupan ini, pernah mengatakan,
“Peristiwanya sendiri tidak penting, tetapi makna dan pembelajaran
dibalik peristiwa itulah yang sangat penting.” Nah, nasehat apa yang
kita dapatkan dari meninggalnya Mbah Surip? Semua orang mungkin
mendapatkan kesan dan nasehat yang berbeda dari hal atau peristiwa yang
sama. Itu sah – sah saja, yang penting bermanfaat bagi kemajuan
spiritual seorang hamba.

Mbah Surip adalah fenomena. Bagi pemerhati kehidupan, perjalanan hidup
Mbah Surip adalah contoh yang indah dalam memahami roda kehidupan ini.
Ada orang yang tenar, kaya dan hebat ketika masih bocah. Kita masih
ingat penyanyi cilik Joshua, dengan Diobok – oboknya. Setelah menginjak
remaja, Joshua seperti di telan bumi. Ada orang yang tenar, kaya dan
hebat kala remaja. Ambil contohnya seperti Adi Bing Slamet atau Ira Maya
Shopa. Kala sudah dewasa mereka tidak sepopuler kala masih remaja. Ada
juga yang tenar, kaya dan hebat kala dewasa. Ini yang umum dan banyak
contohnya. Maradona, Pele, M. Phelps, Ronaldo, dll. Maka dari itu kita
mengenal istilah golden age atau usia emas. Umumnya di bidang olah raga.
Ada juga orang yang mulai terkenal di usia 40-an. Ada kata pepatah life
begins forty. Contohnya kayak Tukul Arwana atau Susan Boyle. Nah satu
lagi, ada yang kaya dan terkenal ketika sudah menginjak usia senja.
Dalam kasus ini seperti Pak Bendot juga Mbah Surip. Sudah tua baru laris
– manis, terkenal dan kaya.

Ini adalah pembelajaran penting dalam kehidupan, dalam memahami arti
qodar dan usaha. Dalam sebuah haditsnya Nabi SAW pernah bersabda kalau
orang itu diqodar kaya, maka dia tidak akan mati sebelum menemukan
qodarnya yaitu menjadi kaya. Dalam kasus Mbah Surip, menjelaskan kepada
kita bahwa setiap diri tidak akan lepas dari qodar yang ditetapkan
baginya. Manusia tidak bisa memilih kapan kayanya, tetapi manusia diberi
jalan dengan cara berusaha. Ikhtiar, untuk menemukan catatan qodarnya.
Berjuang menguak takdirnya. Beruntung bagi yang menemukan qodar kaya
secara alamiah, ketika masih muda sudah kaya. Artinya masih banyak waktu
dan kesempatan untuk memanfaatkan kekayaannya sebagai bekal dan tabungan
ibadah.

Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan, dari Ibnu Dailami ia berkata: "Aku
datang kepada Ubay bin Ka’ab, kemudian aku katakan kepadanya: ''Ada
sesuatu keraguan dalam hatiku tentang masalah qadar, maka ceritakanlah
kepadaku tentang suatu hadis, dengan harapan semoga Allah s.w.t.
menghilangkan keraguan itu dari hatiku", maka ia berkata: "Seandainya
kamu menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya
darimu, sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa
yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa
yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu,
dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, pasti kamu menjadi
penghuni neraka. Kata Ibnu Dailami selanjutnya: "Lalu aku mendatangi
Abdullah bin Mas''ud, Hudzaifah bin Yaman dan Zaid bin Tsabit, semuanya
mengucapkan kepadaku hadis yang sama dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w.
di atas." (HR. Al Hakim dan dinyatakan shoheh).

Berbeda ketika tua baru kaya, salah – salah belum sampai menikmati dan
memanfaatkan kekayaannya, ajal sudah tiba. Inilah yang terjadi pada Mbah
Surip. Royalty sebesar Rp 4,5 M misalnya, tak bisa digendong kemana –
mana. Dia jadi harta yang diperebutkan oleh ahli warisnya. Diperebutkan
oleh yang hidup. Maka Nabi SAW selalu mengingatkan, manakah harta yang
paling kamu suka, hartamu atau harta ahli warismu? Sahabat semua
menjawab, kalau mereka suka dengan harta mereka dan bukan harta ahli
warisnya. Akan tetapi pada praktiknya manusia selalu memperbanyak harta
ahli warisnya dan menyedikitkan kekayaan dirinya. Sebab banyak manusia
yang masih enggan membelanjakan hartanya di jalan Allah dan bekal
setelah mati. Manusia lebih suka menumpuk – numpuk harta. Padahal
setelah mati ahli waris yang memperebutkan. Tak bisa digendong ke alam
baka dan menolongnya.

Dari Ibnu Mas’ud r.a., dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa
diantara kalian yang lebih mencintai harta ahli warisnya daripada
hartanya sendiri?” Mereka menjawab, ‘Ya, Rasulullah, tidak ada seorang
pun dari kami kecuali dia lebih mencintai hartanya sendiri.’ Rasulullah
SAW bersabda, Sesungguhnya hartanya adalah yang dia berikan (di jalan
Allah) sedangkan harta ahli warisnya adalah apa yang dia tahan.” (Rowahu
Bukhory dan Nasa’i)

Menutup tulisan ini, mungkin tepat apa yang disampaikan oleh Mbah Surip
dalam akhir lagunya; Tak gendong ke mana – mana ---
caaaapppeeeekkkk………….., gendong harta kemana – kemana. Makanya dia
tinggalkan dan memilih tidur dan tidur untuk selama – lamanya, sehabis
bangun yang terakhir kali. Jadi harta tak dibawa mati. Selamat jalan
Mbah Surip. Semoga Allah menerima disisiNya sesuai amal perbuatannya.

Jazakumullohu khoiro

Herman Gunadi
-------------

*bold, italic part by me*

1 komentar: