Selasa, 17 Agustus 2010

"Aku" dan "Indonesia"-ku

Kali ini dari milis Fahima, Seneng baca cara Penulis menuturkan pikirannya ini.

Kadang mikir pola bahasa orang Jepang,
yang polanya Totem pro parte (??? dah lupa bahasa indonesia euy!)
Kl mengenalkan diri pasti "Nihon jin no ..."; "Nagoya Daigaku no .."
juga selalu menggunakan nama keluarga untuk perkenalannya.
Dengan cara itu secara ngga langsung mereka menjadi mewakilkan sesuatu..
Sehingga si "Aku"-nya harus cukup representatif untuk menjadi yang diwakilkannya 
(lieur yah bahasanya).

Kl pola bahasa Indonesia, dan bbrp lainnya, mulainya dari "Aku", baru kemudian 
dari mana asalnya,
sehingga ke-"aku"annya lebih kental.. kana..
makin lieur deh bahasanya :D

Inget masa-masa Nupace dulu, 
yang mempersatukan sekitar 50 mahasiswa dari seluruh penjuru dunia.
Bbrp teman dari US dan Eropa di hari perpisahan mengatakan
"persepsi saya tentang Islam, wanita yang berjilbab dan Indonesia telah berubah"
yang pertama bilang, Megan. Lalu teman-teman lainnya --
berubah image dari image yang diberikan Media, ke image yang dbawa kami (berdua ma Memed :D)
dan Agnes yang dari ngga kenal Indonesia, kini seneng banget dengan Indonesia :)

Memang "Aku" yang lebih menjadi peran
walau banyak "aku" yang "terlindas" sistem "ngga jelas" .. kana :D
tapi hanya "Aku" juga yang bisa merubah keadaan .. :D

Salam merdeka,
Rahma

----- Forwarded Message ----
From: Elviyesti Rosefa <truevee@yahoo.com>
To: fahima@yahoogroups.com
Sent: Wed, August 18, 2010 6:48:36 AM
Subject: [fahima] Menggugat Indonesia?

Menggugat Indonesia?
August 11, 2008 by Andi Arsana 
Bendera Merah Putih
I Made Andi Arsana , Heidelberg – Jerman
“Oh, Indonesia?! I know Susi Susanti. She is a very good badminton player!” 
Seseorang berteriak setengah histeris di Stasiun Kereta Api Frankfurt, Jerman 
ketika saya mengenalkan diri dari Indonesia. Tentu saja Susi Susanti yang lebih 
dikenalnya karena dia adalah penggemar bulu tangkis. Cerita ini senada dengan 
kejadian sebelumnya ketika saya baru saja menyelesaikan presentasi di Oslo, 
Norwegia. “I know Hasjim Djalal very well. He is one of the veterans of the law 
of the sea from Indonesia.” Tomas Heidar, ahli hukum laut berkebangsaan 
Islandia ini tentu saja familiar dengan Prof. Hasjim Djalal dibandingkan 
siapapun di Indonesia, karena reputasinya di bidang hukum laut yang tidak 
diragukan. Saya semakin teryakinkan bahwa “aku” lah sebagai anak bangsa yang 
bisa menjadi identitas bagi bangsa sendiri.
Di New York, saya bertemu dengan seorang gadis Thailand yang pintar dan baik 
hati. Sampan Panjarat, demikian namanya. Sejujurnya saya memiliki anggapan 
tersendiri tentang perempuan Thailand sebelumnya, terutama karena terlalu 
banyak informasi di internet yang barangkali tidak akurat tentang mereka. 
Sampan adalah contoh warga bangsa yang mencitrakan bangsanya dengan sangat 
baik. Sampan tidak sekalipun pernah menjelekkan bangsanya di depan siapapun. 
Ceritanya selalu diisi dengan kebanggan, kekaguman dan kepuasan akan bangsanya. 
Sampan adalah juga seorang pekerja pemerintah yang loyal. Tiga bulan bersamanya 
di gedung PBB di New York, tanpa disadari telah mengubah persepsi saya tentang 
Thailand, terutama gadis Thailand. Memang tidaklah selalu negara, tetapi sang 
aku sebagai warga negara yang akhirnya bisa menjadi identitas dan membangun 
citra bangsa.
Di saat seperti ini saya ingat pidato Presiden India yang beredar di internet 
dan sangat mengguhah. Kira-kira presiden mengatakan, it is YOU who should do 
something for your country, bukan orang lain. Bangsa ini terdiri dari 
sekumpulan aku dan akulah yang harus berbenah. Ketika sang aku tiba-tiba bisa 
menjadi orang yang disiplin dalam antrian taksi di sebuah sudut kita singapura, 
mengapa aku yang sama tidak bisa berbuat demikian di bangsa sendiri. Itulah 
contoh yang diungkapkannya dalam pidatonya. Benar memang, adalah sang aku yang, 
sekali lagi, bisa menjadi identitas bangsa, tidak selalu sebaliknya.
Dalam kesempatan lain saya bertemu dengan seorang kolega dari Filipina di 
Gedung PBB, New York. Sehari-hari ceritanya dipenuhi dengan hujatan kepada 
pemerintah dan bangsanya. Korupsi, ketidakjelasan hukum, penyuapan dan 
sejenisnya menjadi topik tentang Filipina hampir setiap kali kami bertemu. 
Perlahan namun pasti citra tentang Filipina terbentuk sempurna di kepala saya 
dan sayangnya citra itu sangat negatif. Di saat yang sama kolega ini juga 
berlaku ceroboh dan lambat dalam melakukan sesuatu. Cerita dan kondisi 
pribadinya menyempurnakan anggapan bahwa Filipina memang ada masalah. Saya 
tahu, terlalu pagi untuk menyimpulkan tetapi satu orang memang bisa menciptakan 
kesan tentang satu negara. Senada dengan ini, kawan lain dari Cameroon berlaku 
mirip. Komplain dan penghinaan terhadap bangsanya menegaskan kesan dan anggapan 
saya bahwa Afrika memang jauh dari maju dan jauh dari baik. Sekali lagi, satu 
orang memang bisa menciptakan kesan tentang sebuah bangsa.
Saya ingat ucapan para tetua di Bali. Jangan menghina orang tua, karena engkau 
akan menjadi anak orang hina. Jangan menghina sulinggih (pemuka agama) karena 
kamu akan jadi sisya (siswa/pengikut) sulinggih yang hina. Adalah diri ini yang 
menciptakan identatas sebuah komunitas tempat kita bernaung atau berafiliasi.
Ketika bersekolah di Australia saya bergaul dengan banyak sekali orang 
Indonesia. Saya mengerti banyak dari mereka yang kecewa terhadap Indonesia dan 
muak dengan segala macam ketidakadilan atau perlakuan tak semestinya yang 
mereka terima. Kini banyak dari mereka yang menjadi pembenci Indonesia, dan 
memutuskan untuk enyah dari bangsa sendiri dan hidup di negara tetangga. 
Terbayangkan betapa kebencian itu mendalam dari berbagai ceritanya. Ada yang 
bahkan sudah tidak bisa membedakan lagi mana Indonesia sebagai bangsa, dan mana 
pemerintah yang drepresentasikan oleh individu. Betulkah Indonesia, bangsa yang 
besar ini, yang harus dibenci dengan segala ketidaksempurnaan ini? Benarkah 
Indonesia, sebagai bangsa, yang harus dihujat dan dihina atas segala 
ketidaknyamanan hidup yang terjadi? Saya bertanya dan bertanya lagi.
Bukankah adalah diri ini dan sang aku yang membangun citra sebuah bangsa? Kalau 
kebencian akan Indonesia ini terjadi karena kekecewaan akibat dipersulit ketika 
mengurus passpor di kantor imigrasi, Indonesiakah yang harus dipersalahkan? 
Kalau kebencian itu tumbuh karena sertifikat tanah yang tidak kunjung beres 
sebelum beberapa lembar uang seratus ribuan harus direlakan untuk tangan yang 
tak semestinya, haruskah Indonesia yang dihujat? Kalau kebencian ini muncul 
karena macetnya Jakarta setiap hari akibat transportasi yang tidak beres, 
haruskah Indonesia yang dicaci maki? Kalau kebencian ini muncul karena uang 
beasiswa dari Dikti tidak kunjung turun sementara hidup di Heidelberg tidaklah 
murah, apakah kemarahan harus ditumpahkan kepada Indonesia? Siapakah Indonesia 
ini yang harus menerima kebencian dan kemarahan dari banyak sekali orang? 
Tidakkah ada seseorang yang telah bersalah dan membuat semua ketidaknyamanan 
itu terjadi? Orang bisa saja berteriak bahwa ketidakbaikan ini sudah mengakar 
dan dia sudah menjadi budaya sebuah sistem besar. Tidakkah sistem besar itu 
dibangun dari individu-individu? Bukankah sang diri ini yang akhirnya menjadi 
identitas? Siapakah yang harus diperaslahkan kalau demikian? Yang lebih 
penting, jika harus ada yang berbenah, siapakah yang harus berbenah?
Dalam ketidakmampuan saya menyimpulkan persoalan yang pelik ini, ijinkan saya 
mengutip lagu lama milik seorang sahabat bagi banyak orang, Iwan Falls. 
”Lusuhnya kain bendera di halaman rumah kita, bukan satu alasan untuk kita 
tinggalkan” Dirgahayu Republik Indonesia ke-63.

3 komentar:

  1. dimulai dari diri sendiri..
    begitu ya maksudnya? :)

    BalasHapus
  2. ^^... pastinya dimanapun saya berada.. saya tetap cinta, masak dan makan masakan Indonesia... ^0^

    BalasHapus
  3. Teh Rela, betul betul betul
    Riela, dah ga sabar buka yah :D :D :D kangen masakan Riela!

    BalasHapus