Senin, 09 Agustus 2010

Hari penting itu...

Nantes, 1991.

Rahma kecil berusia 10 tahun saat itu.
Hari itu, Mamah dan Papah mengajak ke kampus,
Mamah bilang hari ini hari pentingnya Papah,
Papah akan presentasi penting,
dan Mamah berpesan berulang kali agar aku bersikap manis dan tidak ribut. 

Aku ngga punya banyak memori berkunjung ke kampusnya Papah selain hari penting itu.

Aku pakai baju rok hari itu, baju yang paling jarang aku kenakan karena motah.
Aku jadi merasa penting, karena diajak ke hari pentingnya Papah,
sambil bertanya-tanya seperti apakah acara penting ini.
 
Tiba di kampus, kami memasuki sebuah ruangan besar.
Wah, aku cukup terpana melihat ruangan besar ini, 
yang jauh berbeda dengan ruang kelasku di sekolah.

Di depan ada meja panjang dan papan tulis besar dan mungkin sebuah podium.
kemudian ada kursi-kursi yang ditata seperti melingkar,
dan susunannya bertingkat ke belakang.

Mamah mengajakku dan adik-adikku duduk di tengah agak belakang, di sisi kiri ruangan.
Papah berdiri di depan, mengenakan jas dan dasi, gagah sekali hari itu.
di barisan paling depan duduk para profesor yang sedikit botak dan berambut putih.
Aku hanya tau profesor Papah saja, karena pernah berkunjung ke rumah dengan putrinya.
Kursi-kursi lainnya terisi oleh orang-orang lainnya, mungkin dosen, mungkin juga ada mahasiswa lainnya.

Rahma kecil sibuk membayangkan Rahma besar suatu hari nanti juga akan presentasi di ruangan besar ini, di hadapan profesor-profesor, gagah seperti Papah hari ini.
"Aku juga mau kuliah di ITB seperti Papah, lalu kuliah ke Perancis!"
Tekad Rahma kecil 10 tahun.
 
Hari-hari pun berlalu.
Papah bilang kalau mau kuliah ke ITB harus belajar yang baik.
Tapi aku lebih senang bermain.
Papah bilang di Bandung banyak anak-anak SMA 3 yang masuk ITB.
Tapi bayangan SMA 3 - Bandung begitu sangar dan tempat kutu buku.
Lagipula NEMnya tinggi sekali!
sepertinya ITB terlalu jauh untuk diraih.

NEM SMPku pas-pasan, 48 di tahun 1997.
padahal passing grade sebelumnya 50.
Tapi Papah bilang, dicoba saja daftar SMA 3,
karena tahun itu rata-rata nilai NEM turun dari tahun sebelumnya.

Ternyata aku beruntung berada di garis pembatas,
lolos masuk SMA 3 yang passing gradenya 48 tahun itu.
Lucky girl!
Ternyata SMA 3 tidak terlalu kutu buku.
Isinya orang-orang yang senang bermain sambil belajar.
Aku jadi banyak belajar me-manage waktu dari teman-teman.

Terimakasih Papah, untuk tetap mendorongku!
 
Hari-hari di SMA pun berlalu.
Waktu semakin mendekati UMPTN,
dan aku masih juga senang bermain dan berorganisasi.

Naik ke kelas 3, 
waktu aku melihat list jurusan di ITB, semua tampak begitu sulit.
 
Tapi Papah tetap mendorongku untuk mencoba.
Aku belajar keras di hari-hari terakhir SMAku,
ikut SSC dan belajar intensif dengan tetangga, mahasiswa Elektro ITB 4 tahun di atasku.

"coba Geodesi Ceu!" ujar Papah satu hari sebelum pengembalian formulir.
haa-- apa pula itu, tidak terkenal di kalangan teman-temanku.
tapi tampat keren dengan Mappingnya.

Ok deh! dicoba!

Ternyata lucky lagi.
Aku terpotong di list terbawah Elektro ITB
tapi masuk list atas di Geodesi ITB.
Mungkin bukan kebanggaan bagi anak2 SMA 3 untuk masuk Geodesi, 
tapi aku  senang,   
Satu citaku tercapai; bisa kuliah di ITB!

Aku tau bahwa aku harus mencari beasiswa untuk kelak bisa kuliah ke luar negeri.
Aku masih selalu menyimpan impian kuliah ke Perancis.
di tingkat 1 itu, bersama seorang sahabatku, kami berikrar untuk mencoba lulus cum laude. 
Katanya, kita harus memasang target yang tinggi.
Kalau ngga berhasil cum laude, mudah-mudahan bisa tetap punya IPK diatas 3.
Katanya kalau mau dapet beasiswa, harus punya IPK diatas 3 dan harus punya kemampuan bahasa inggris yang baik.

Tahun 2004, aku berhasil lulus cum laude bersama sahabatku itu.
Tapi aku menunda keinginan untuk aplikasi kuliah ke Perancis, 
karena menanti kelahiran putriku.
Dosenku kemudian menawarkan beasiswa S2 di Geodesi ITB.    

Di tingkat M2, aku mencoba apply beasiswa ke Perancis, juga ke Jepang.
Papah selalu menyarankan untuk ke Jepang saja kalau mau melanjutkan kuliah,
apalagi kalau temanya Tsunami dan Gempa,
jauh lebih cocok Jepang ketimbang Perancis.
Tapi aku sempat keukeuh mau ke Perancis!

Apa daya, beasiswa ke Perancis gagal, yang berhasil aplikasi yang ke Jepang.

***

Kini, 19 tahun kemudian,
Rahma besar menghadapi masa-masa penentuannya untuk bisa melakukan presentasi penting, seperti Papah 19 tahun yang lalu.
Ternyata, sulit sekali perjalanan menuju presentasi penting itu.

Sudah masuk waktu kritis,
masih juga berjuang dengan analisa data yang terus meng-adjust hipotesa awal.

Hari penting 19 tahun yang lalu itu selalu terbayang-bayang.
Cita-cita seorang rahma kecil,
yang dilalui selama 19 tahun,
tinggal 6 bulan lagi,
tapi terasa begituuu berat dan begitu jauh!

Berada di titik rendah,  
membuat semakin rindu kehadiran Papah, yang selalu memberikan ide-ide,
yang selalu bisa diajak berdiskusi tentang apapun,
yang selalu menyemangati..

Hari penting itu.. bisakah aku raih tepat waktu  ?

***

Nagoya, 10 Agustus 2010, 1:37 AM

Ngambil dari video yang dibuat Rifa. ditambah kesini 10 Februari 2011

8 komentar:

  1. semangat teh,man jadda wa jadda (siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil ) ^,^

    BalasHapus
  2. gambatte rahma!! en slamat berpuasa :)

    BalasHapus
  3. insya allah bisa ma, ttp semangat dan jgn lupa minta doa orangtua...

    BalasHapus
  4. wawawawaaa... kereeen!! smangat belajarnya nurun dan udah dr kecil yah... kebayang zahra n akira ntar jg niruin rahma n kang endra.. dikit lagi maa... ^^ abis itu postdoc deh... asiik!!

    BalasHapus
  5. inshaAlloh, Alloh menyiapkan jalan yang terbaik untuk kita selama kita berusaha...

    ^__^

    BalasHapus
  6. Sahabat-sahabatku tersayang, makasih yaaa---!! Alhamdulillah kamis malam dah ada pencerahan :D
    "Ganbareba, dekiru yo ne!" :D --> ini bahasa jepangnya kata2 Novi :D

    BalasHapus