Senin, 25 Juli 2011

Catatan H-8: Menanam bibit

Menanam bibit, perlu dirawat dan diperlihara dengan baik, agar tanamannya tumbuh dengan sehat. Seperti Zahra yang menanam Asagao di sekolahnya pada awal bulan Mei kemarin, yang sekarang mulai mekar bunganya, tingginya pun sudah melebihi tinggi Zahra.. Seperti Akira yang menanam Tomat, Terong dan Timun pada bulan April lalu di sekolahnya, dipetik minggu lalu dengan hasil sayur yang segar dan besar, dan dimasak bersama, enaakk!!

Di pengajian KMI Nagoya hari minggu kemarin, Pak Nur berceramah juga mengenai menanam di bulan Rajab, untuk memetik hasilnya di bulan Ramadhan. Aku agak bingung, secara jelasnya, apa yang harus kita tanam apa di bulan rajab??  Apalagi sekarang sudah mau 1 minggu menjelang Ramadhan, rasanya dah mepet sekali. duh! merasa bersalah dengan persiapan yang minim ini.

Setelah mendapat kesempatan untuk bertanya, aku pun pun tercerahkan  Menanam bibit pada bulan Ramadhan. Bulan Rajab, 2 bulan sebelum Ramadhan adalah masa evaluasi hasil menanam bibit kita, untuk kita petik hasilnya di bulan Ramadhan nanti, dan kembali menanam bibit baru. Apa yang akan tumbuh, tergantung bibit yang kita tanam.

Ya! yang aku tangkap, layaknya kita suka membuat resolusi tahun baru, atau resolusi pada hari kelahiran kita, setiap bulan ramadhan pun perlu membuat resolusi itulah bibit yang akan kita tanam, dievaluasi setidaknya bulan rajab, karena sudah akan menjumpai ramadhan kembali, apakah benih yang kita tanam taun lalu sudah tumbuh, atau belum tumbuh karena dibiarkan tak terawat ^^. 

Aku baru tersadarkan, walau hampir selalu membuat target di bulan Ramadhan, tetapi belum pernah membuat target maupun resolusi setelah bulan Ramadhan berakhir. Lah, kalau aku ngga menanam bibit, apa yang mau tumbuh???? 

Mulai sekarang, bismillahirrohmanirrohiim, menanam bibit, berjuang konsisten menyiramnya, merawatnya, agar dapat tumbuh, meraih kasih dan hidayahnya, mengejar impian semua orang, tuk berkumpul kembali di surgaNya.. Ya Allah, bantu lah hamba-Mu yang lemah ini.. senantiasa cahayakanlah kami, amiiinn yra


*finally written, setelah suntikan nulis dr Sunu ^^*
 
Catatan Sunu:
Menanam Sebelum Ramadhan
Sunu Hadi

Ali bin Abi Thalib mengatakan ikatlah ilmu dengan menulisnya. Maka saya mencoba mengikat ilmu-ilmu yang bersebaran dalam Pengajian Bulanan KMI Nagoya 24 Juli 2011 bertempat di Coop Motoyama. Tentu saja tak semuanya bisa saya ikat, karena banyak pula yang tercecer tanpa terekam dengan baik dalam ingatan yang terbatas. Catatan ini tidak pula murni hanya dari sang pembicara, tetapi sudah ditambah dengan tambahan-tambahan dari sumber ilmu lain yang turut hadir dan perenungan pribadi yang ingin dibagi tanpa ada maksud menggurui. 
 
Bismillahirrahmanirrahim.
 
Ramadan akan hadir sebentar lagi sebagai tamu agung yang harus disambut, dijamu dan dimuliakan dengan baik. Maka sebenarnya cukup terlambat bila kita menyambut begitu dia sampai karena tak cukup masa yang bisa diolah untuk mempersiapkan penyambutan yang lebih dari biasa. Saya membayangkan  kita bertamu ke rumah seseorang setelah memakan waktu berjam-jam, ditempuh dengan kereta, berganti bus dilanjutkan jalan kaki lalu akhirnya sampailah di kediaman itu dalam kondisi lelah dan keringat masih basah. Kita dibukakan pintu, dipersilakan duduk oleh empunya rumah dengan muka yang datar, cenderung masam tanpa dihias senyuman. Setelah itu kita ditinggal ke belakang tanpa disuguhi minuman, tanpa ditemani untuk memulai percakapan. Sebagaimana manusia normal, kira-kira bagaimana perasaan kita? Padahal kita datang dari tempat yang jauh dan berniat menyambung silaturahim sambil membagi sedikit kelebihan yang dimilki. 
 
Kasusnya dibalik untuk Bulan suci yang datang setahun sekali. Hanya sekali dan akan bertamu selama 29 atau 30 hari. Salah satu harinya lebih mulia dari 1000 bulan yang dicari dan dinantikan oleh orang-orang yang beriman. Bila kita akan kedatangan tamu yang membawa segenap kesempatan kemuliaan, pantaskah bila penyambutannya hanya seadanya tanpa persiapan yang terrencana?
 
Bapak Aminullah Noor mengatakan, bulan Rajab dipergunakan untuk menanam, bulan Sya'ban untuk memelihara dan bulan Ramadhan untuk memanen hasilnya. Memanen untuk disuguhkan kepada sang tamu. Saya menangkap bahwa salah satu panenan berupa kebiasaan. Maka bila ada yang menanyakan teknisnya, jawabannya adalah memilih benih apa yang hendak ditanam. Kapan? Hmm, seharusnya sejak bulan Syawal tahun sebelumnya.  Bila kita ingin panen kebiasaan mengkhatamkan Al Quran, berarti diawali dengan menambah jumlah halaman yang dibaca secara harian. Masih ada sekitar satu pekan sebelum memasuki bulan puasa, masih ada kesempatan untuk menanam benih kebiasaan yang harus dipelihara secara intensif, dipupuk, disiram, dijaga dari hama, ditaruh ditempat yang cukup mendapat cahaya dan tentunya dipilih komoditi yang cukup waktu untuk dipetik hasilnya. 
 
Bulan Ramadan adalah bulannya Al Quran. Ada sebuah kisah berlatar sebuah negeri di Eropa tentang seorang kakek dan cucunya. 
"Kakek, kenapa sih kita harus membaca Al Quran? Bahasanya saya tak paham. Untuk apa kita membaca sesuatu yang tidak kita pahami?"
 
Sang Kakek hanya tersenyum. Alih-alih menjawab pertanyaan si cucu, beliau menyuruh cucunya mengambil air dengan keranjang. Keranjang anyaman tempat menyimpan kayu dan batu bara buat perapian yang sudah kotor bulukan menyimpan abu dan debu-debu menghitam. 
 
Si Cucu bersemangat mengambil air dari kolam untuk dibawa ke tempat sang Kakek. Tentu saja tak ada air yang tersisa karena merembes lewat sela-sela anyaman. Si Cucu tidak menyerah. Dia berlari lebih cepat agar saat sampai ke tempat Kakek masih ada air yang tersisa di keranjang. Begitu terus dia bolak-balik dari kolam ke halaman hingga akhirnya...
 
"Kakek, tidak mungkin saya membawa air dengan keranjang ini..."
"Memang betul, tidak akan ada air yang cukup kamu bawa dengan keranjang ini, tapi lihatlah sekarang keranjang ini jadi bersih, bebas dari debu dan abu-abu perapian. Demikian pula dengan Al Quran, meskipun kamu tidak paham apa yang kamu baca, bila kamu membacanya terus-menerus maka hatimu akan dibersihkan. Itulah salah satu kelebihan Al Quran sebagai bacaan dibandingkan bacaan-bacaan lain."
 
Dalam kisah di atas ada 2 orang pelaku : seorang kakek dan cucu. Salah satunya lebih berilmu sehingga mampu memberikan pencerahan kepada yang lain. Bagaimana bila kita sendiri tanpa interaksi? Bila kita perhatikan, ada cek list yang harus dilakukan oleh seorang masinis kereta di Jepang. Lampu hijau sudah menyala, sinyal OK sudah diperoleh, pintu sudah menutup, tidak ada penumpang yang terjepit.... semuanya dilakukan dengan gerakan-gerakan tangan dan tak jarang dilisankan. Kenapa perlu cek list? Ada 4 kemungkinan yang terjadi bila hanya mengandalkan ingatan dan dalam kondisi sendirian :
1. Lupa
2. Keliru 
3. Kesalahan (karena tidak tahu dan tidak ada yang mengingatkan)
4. Pelanggaran (sudah tahu tapi malas mentaati prosedur)
 
Sayangnya tidak ada manual petunjuk kehidupan yang berwujud cek  list. Maka sudah wajar bila manusia dengan segala keterbatasannya dihinggapi lupa dan keliru yang tidak disengaja. Namun demikian kesalahan dan pelanggaran bisa dicegah dengan peringatan dan pengajaran. Dua hal ini tidak mungkin dilakukan sendiri, maka berkumpulah dengan orang yang saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran agar tidak rugi. 
 
Menjelang ramadan tahun ini banyak orang yang mudik ke tanah air. Bahagianya bila saat mengendari burung besi, pilotnya juga mengucap doa yang sama kepada sesembahan yang sama pula. Lebih bahagia lagi bila jamuan yang disajikan terjamin kehalalannya. Serifikat halal insyaAllah menjamin keamanan makanan yang kita konsumsi. Ini ditulis berdasarkan komentar seorang auditor yang tergabung dalam tim sertifikasi halal [ senangnya dalam forum-forum di sini banyak pakar berbagai bidang dan profei :-) ]. Seorang GM Maskapai Nasional kita yang ditugaskan di Nagoya juga tengah memperjuangan kehalalan makanan yang dikemas dari Jepang, bukan hanya zatnya melainkan juga proses pembuatannya. Semoga dalam waktu dekat perjalanan seorang muslim lewat udara dipermudah lagi dari sisi kehalalan makanan.
 
 [ Cek saja, apakah dalam moslem meal yang dipesan dalam penerbangan ada label halalnya atau hanya sekedar tulisan Moslem Meal yang kadang hanya dipahami sebagai makanan tanpa babi. Vegetarian juga tidak 100% halal kalau masaknya campur dan bumbunya pakai khamr. Jadi? Pak GM mengatakan beliau siap sedia mie instan atau nasi bungkus untuk penerbangan internasional :-P ]
 
Demikian ikatan yang bisa saya susun, semoga akan ada ikatan-ikatan lain yang bila dikumpulkan bisa menjadi anyaman. Mohon maaf bila ada kekurangan. ^__^

3 komentar:

  1. makasih mba rahma sudah mengingatkan ^.^ baca ini makjleb banget! belum terlambat menanam benih dan berevolusi untuk mjd hamba-Nya yang lebih baik aamiin...

    BalasHapus
  2. ijin share di-milis muslimah saga ya mba :)

    BalasHapus