Senin, 27 Juli 2009

Ihwal Penerimaan Mahasiswa ITB

Ihwal Penerimaan Mahasiswa ITB

Kompas, Selasa, 28 Juli 2009 | 03:02 WIB

Adang Surahman 

Dewi Susanti dalam ”Sekali Lagi soal UU BHP” (Kompas, 10/7/2009) mengutip Welch (2007) yang mengatakan, ITB menawarkan jalur khusus bagi 20 persen mahasiswa baru yang tak memenuhi standar kemampuan akademik tetapi mampu membayar lebih mahal.

Terkait pandangan Welch, sebenarnya pola penerimaan nonsubsidi di ITB sudah dimulai sejak tahun akademik 2003/2004. Pada dasarnya pola penerimaan nonsubsidi (tepatnya subsidi amat kecil), yang disebut pola PMBP (Penelusuran Minat, Bakat, dan Potensi), merupakan koreksi ITB terhadap aspek keadilan dan partisipasi masyarakat dalam skema pembiayaan pendidikan tinggi. Pola penerimaan SPMB (kini SNMPTN) yang sebelum tahun 2003 mendominasi penerimaan mahasiswa baru ITB (100 persen) menerapkan keadilan komutatif, yakni menyamaratakan pembayaran biaya pendidikan bagi tiap mahasiswa. Pola PMBP menerapkan keadilan distributif, yakni berdasar kemampuan ekonomi tiap mahasiswa.

Data tentang struktur penghasilan orangtua mahasiswa ITB sejak tahun 1980-an hingga kini ialah berkemampuan ekonomi tinggi (30 persen), menengah (40 persen), dan rendah (miskin) (30 persen). Pola baru ini bisa disebut enforcement agar mereka yang berkemampuan ekonomi tinggi tak menikmati subsidi terlalu besar dari pemerintah dan komunitas dosen ITB.

Pola PMBP tak membuat biaya pendidikan menjadi lebih mahal, tetapi hanya memperluas kesempatan kepada masyarakat lain (sponsor seperti pemerintah daerah, perusahaan besar, atau kerabat mahasiswa yang lebih mampu) ikut menanggung biaya pendidikan secara lebih adil.

Menjadi pertanyaan, bagaimana Welch berkesimpulan tentang kualitas mahasiswa baru ITB yang mengikuti pola PMPB. Padahal, pola ini merupakan koreksi atas kekurangan kualitas mahasiswa baru lulusan pola SPMB untuk memperoleh mahasiswa ITB dengan kemampuan nalar lebih baik, bakat dan minatnya sesuai bidang studinya sehingga manfaat pendidikan yang diterima lebih terasa baginya maupun masyarakat.

Alat ukur

Tantangan terbesar saat itu adalah menemukan alat ukur yang agak berbeda, tetapi harus lebih baik dari pola SPMB dengan standar yang minimal sama. Pengubahan alat ukur SPMB saat itu masih belum memungkinkan. Seyogianya alat ukur ini juga diharapkan dapat mengatasi problema yang dihadapi calon mahasiswa dari daerah yang tak punya kesempatan mendapat pendidikan SMA memadai. Maka, dikembangkan materi uji lebih baik dalam mengukur potensi akademik ketimbang prestasi akademik. Inilah yang dianut dalam pola PMPB.

Dengan pola itu, materi ujian meliputi 1) psikotes untuk mendapatkan calon dengan intelektualitas, integritas, dan emosi memadai. 2) tes bakat skolastik untuk menguji kemampuan verbal, analisis, dan numerik.

Kemampuan dasar akademik yang diuji adalah tes IPA yang lebih mengutamakan kemampuan nalar daripada hafalan. Tes bahasa Inggris diarahkan lebih kepada kemampuan yang bersifat komprehensif.

Hasilnya mulai terlihat. Dengan berjalannya waktu, peserta makin banyak, persaingan makin ketat, dan standar makin baik. Saat ini kualitas mahasiswa PMBP lebih baik daripada SPMB. Angka putus kuliah mahasiswa PMBP pada tahun ke-2, ke-3, dan ke-4 sedikit sekali. Mahasiswa PMBP jarang sekali putus studi karena alasan nonakademik (psikologi, motivasi, dan lainnya).

Kini, hasil yang baik ini membuat pola PMPB diperluas untuk menerima sebagian dari 30 persen mahasiswa miskin melalui pengenalan beasiswa ekonomi lemah, ekonomi penuh, dan beasiswa minat di dalamnya. Dengan alokasi pola SNMPTN menjadi 40 persen dari total penerimaan mahasiswa baru, terlihat pola penerimaan mahasiswa baru ITB saat ini keketatan jalur miskin lebih ringan.

Adanya pola PMBP ini tak mengubah komposisi strata ekonomi mahasiswa ITB. Alokasi ujian PMBP daerah yang sebesar 25 persen itu ada beasiswa minat. Ujian PMBP terpusat sebesar 35 persen berisi berbagai jenis beasiswa. Ujian SNMPTN 40 persen untuk mahasiswa miskin dan mereka yang tidak berhasil lulus di kedua ujian PMBP sebelumnya jika masih berminat menjadi mahasiswa ITB.

Atas dasar ini, mereka yang kemampuan ekonominya kurang disarankan mengikuti ujian SNMPTN karena tingkat keketatannya lebih rendah dibandingkan dengan PMPB.

Adang SurahmanWakil Rektor Senior Bidang Akademik ITB

1 komentar:

  1. hehe, aku juga habis baca ini tadi di cetak.kompas.

    Memang sih, PMPB bisa jadi bagus, tapi jadi cara lain buat masuk anak-anak dari golongan silau :p. Mungkin pihak ITB lupa, kalau ketika kuliah, jurangnya tetep ada. Seperti tempat parkir yang makin penuh :p Hehehehe... Semoga dengan adanya alternatif cara masuk ITB ini, tidak akan menyebabkan adanya peer pressure di kalangan mahasiswanya.

    BalasHapus